0001: Ibadhiyyah
TA'RIF
Ibadhiyyah adalah salah satu kelompok (firqah) Khawarij moderat. Hanya saja para penganutnya tidak mau disebut sebagai salah satu kelompok Khawarij. Sebab mereka menganggap alirannya sebagai sebuah madzhab fiqh ijtihadi yang sunni, berdampingan dengan Syafi'iyyah, Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hambaliyyah.
SEJARAH BERDIRI DAN TOKOH-TOKOHNYA
Pendirinya ialah Abdullah' bin Ibadh al-Maqa'isi. Kata Ibadhiyyah dinisbatkan kepada Ibadh, sebuah kampung yang terletak di dekat Yamamah.
Salah seorang tokohnya yang paling menonjol ialah Jabir Bin Zaid (21—96 H). Dia dipandang sebagai pengumpul dan penulis hadits. Ia menimba ilmu dari Abdullah bin Abbas, A'isyah, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar dan shahabat-shahabat besar lain.
Abu 'Ubaidah Maslamah bin Abu Karimah, salah seorang murid Jabir bin Zaid yang termasyhur merupakan marja' kedua Ibadhiyyah setelah Jabir bin Zaid. Ia terkenal dengan sebutan al-Qaffa.
Rabi' bin Habib al-Furahidi, hidup pada pertengahan abad kedua Hijriyyah, bekerja keras mengumpulkan hadits dalam sebuah Musnad khusus bernama Musnad Rabi' bin Habib. Kitab ini telah dicetak dan terbit.
Sedangkan Imam-imamnya di Afrika Utara pada masa Daulah Abbasiyyah antara lain Imam Harits binTalid. Abdullah Khaththab bin Abdul A'la bin Samih al-Ma'afiriyyi, Abu Hatim Ya'qub bin Habib dan Hatim al-Malzuzi.
Imam-imam yang bergantian pada masa pemerintahan Rustam di Tahart, Marokko antara lain Abdurrahman, Abdulwahhab, Aflih, Abu Bakar, Abdul Yaqzhan dan Abu Hatim.
Sedangkan yang tergolong ulama mereka antara lain:
1. Salman bin Sa'ad, penyebar aliran Ibadhiyyah di Afrika pada awal abad kedua Hijriyyah.
2. Ibnu Muqthir al-Janawini yang menuntut ilmu di Bashrah dan kembali ke kampung halamannya, Jabal Nufus Libiya sebagai penyebar madzhab Ibadhiyyah.
3. Abduljabbar bin Qais al-Maradhi. Ketika Harits bin Talid menjadi Imam ia menjabat sebagai hakim.
4. Samih Abu Thalib, salah seorang ulama mereka pada pertengahan abad kedua Hijriyyah. Ia pernah menjadi menteri ketika Abdulwahhab bin Rustam menjadi Imam. Kemudian menjadi wakilnya di Jabal Nufus dan sekitarnya.
5. Abu Dzar Aban bin Nasim, salah seorang ulama Ibadhiyyah pada pertengahan abad ketiga Hijriyyah. Ketika itu ia ber kedudukan sebagai petugas dari Imam Aflah bin Abdul Wahhab di daerah Tripoli.
PEMIKIRAN DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA
Pengikut Ibadhiyyah menyerukan penyucian (tanzih) Allah secara muthlaq. Sesuatu yang tercantum dalam al-Qur'an dan al-Hadits yang dipandang tasybih, harus dita'wilkan dengan pengertian tertentu sehingga tidak memberi kesan tasybih. Mereka tetapkan Asma Allah dan Shifat-Nya seperti yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya. Sehubungan dengan kalimat Allah bersemayam di Arasy, mereka berkeyakinan harus dita'wilkan dalam bentuk majazi. "Tangan Allah" dita'wilkan dengan Kekuatan dan ni'mat.
Selain itu mereka tidak meyakini melihat Allah di Akhirat, berdasarkan ayat (لا تدركه الأبصار)
Beberapa masalah yang berkaitan dengan akhirat, mereka ta'wilkan secara majazi, arti kiasan, seperti mizan dan shirat.
Mereka berkeyakinan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah dan hasil usaha manusia. Dalam hal ini mereka mengambil j alan tengah antara Qadariyyah dan Jabariyyah.
Sifat Allah, bagi orang-orang Ibadhiyyah bukanlah tambahan atas Dzat-Nya, tetapi sifat tersebut adalah Dzat itu sendiri.
Tentang al-Qur'an mereka meyakininya sebagai makhluq.
Mereka berpendapat, tidak ada satu manzilah di antara iman dan kafir. Keduanya bertentangan secara diametral, seperti antara hidup dan mati, bergerak dan diam. Mereka berpendapat, seseorang tidak keluar dari keimanan, kecuali kalau dia kafir. Karena itu jika seseorang tidak beriman maka dia pasti kafir, berdasarkan ayat (اما شاكرا واما كفورا)
Menurut mereka, manusia terbagi atas tiga golongan :
1. Orang yang beriman dan konsisten dengan keimanannya
2. Orang musyrik dan terang-terangan kesyirikannya
3. Orang yang mengikrarkan Tauhid dan menyatakan Islam tapi tidak konsisten dengan keimanan dan keislamannya, baik ucapan ataupun prilakunya. Mereka ini tidak digolongkan sebagai musyrik dikarenakan pengingkarannya terhadap tauhid. Tetapi mereka juga bukan orang beriman dikarenakan ketidakkonsistenan dengan imannya. Di dunia mereka dapat disebut sebagai Muslim dikarenakan mereka telah mengikrarkan tauhid. Tetapi di akhirat mereka disebut sebagai musyrik karena ketidakkonsistenannya kepada iman dan prilakunya yang bertentangan dengan konsekwensi tauhid, baik dalam hal perintah ataupun yang menyangkut larangan.
Mereka memandang sebagai negeri tauhid terhadap negeri orang-orang Islam yang menentang dan berbeda dengan mereka. Kecuali kamp militer sultan. Mereka menamakannya sebagai negeri bughat.
Ahli qiblat yang menentang mereka adalah kafir tapi bukan musyrik. Meski demikian, menikahinya diperbolehkan. Hukum warisnya juga halal. Rampasan harta mereka, berupa senjata, kendaraan dan segala perlengkapan perang adalah halal. Tetapi selain itu diharamkan.
Orang yang berbuat dosa besar, termasuk kafir. Seseorang yang melakukan ma'shiyat dan tidak bertaubat, ia tidak dapat masuk surga. Sebab, Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa besar seseorang, kecuali jika mereka bertaubat dulu sebelum mati.
Pelaku dosa besar dicap sebagai kafir. Dan kekafirannya itu dipandang sebagai kufur ni'mat, bukan kufur agama. Sedangkan Ahli Sunnah memandang orang yang berbuat ma'shiyat dan kefasiqan sampai meninggal akan disiksa di neraka sampai bersih, kemudian baru dimasukkan ke surga.
Mereka berpendapat, Khalifah tidak harus dari orang Quraisy saja. Tetapi, setiap Muslim yang mampu dan memenuhi syarat berhak menjadi Khalifah. Imam yang menyeleweng harus dipecat dan diganti dengan yang baru.
Pendapat yang menyatakan bahwa Imamah harus dengan wasiat adalah bathil. Pemilihan Imam harus melalui bai'at. Imam boleh lebih dari satu di berbagai tempat, jika diperlukan.
Bagi mereka keluar dari Imam zhalim tidak wajib, tetapi juga tidak dilarang. Mereka hanya membolehkan. Tetapi jika kondisinya mendesak dan berbahaya, pembolehan termaksud bisa jadi berubah menjadi wajib. Apabila kondisinya tidak mendesak dan tidak akan berakibat fatal, maka pembolehan (jawaz) akan lebih bersifat pencegahan (al-Man'u). Meski demikian, dalam kondisi bagaimanapun, keluar dari Imam zhalim tidak dilarang. Sedangkan merahasiakan pembatalan bai'at (keluar dari Imam zhalim), dalam semua keadaan, adalah lebih baik, selama Imam atau penguasa tersebut zhalim.
Mereka juga berpendapat bahwa kakek dari ayah lebih berhak merawat anak daripada nenek atau ibu. Ini sangat berbeda dengan umumnya madzhab-madzhab yang ada.
Selanjutnya, kata mereka, kakek menghalangi saudara-saudara yang lain untuk mendapat warisan. Sementara mazdhab lain berpendapat bahwa warisan dapat diberikan kepada mereka.
Menurut mereka seseorang tidak boleh mendo'akan orang lain dengan kebaikan surga dan yang berhubungan dengannya, kecuali jika memang orang yang dido'akan itu benar-benar konsisten dengan keislamannya dan berhak mendapat perlindungan Allah disebabkan ketaatannya. Jika do'a tersebut untuk kebaikan dunia dan untuk mengubah manusia dari ahli dunia menjadi ahli akhirat, maka hukumnya diperbolehkan (ja'iz) bagi setiap Muslim, baik yang taqwa ataupun yang ma'shiyat.
Mereka memiliki satu sistem yang disebut Halaqah 'Uzabah. Yaitu semacam lembaga yang anggota-anggotanya sangat terbatas yang mencerminkan sebagai penduduk negeri terbaik dalam hal ilmu dan keshalihannya. Lembaga ini melakukan pengawasan ketat terhadap urusan masyarakat Ibadhiyyah di bidang agama, sosial, pengajaran, dan politik. Dalam masa aman, lembaga ini berfungsi juga sebagai Majlis Syura. Sedangkan dalam masa tidak aman dan rahasia, ia melakukan tugas Imam.
Selain Halaqah 'Uzabah, mereka memiliki sebuah organisasi yang disebut Irwan. Organisasi ini berfungsi sebagai penasihat pembantu 'Uzabah. Ia merupakan kekuatan kedua setelah sistem 'Uzabah.
Untuk mengurus masyarakat, mereka membentuk sebuah panitia pengumpul zakat dan sekaligus mendistribusikannya
kepada fakir miskin. Mereka sangat berpantang meminta zakat atau semacamnya, yang bersifat meminta-minta.
Aliran ini kemudian terpecah menjadi beberapa firqah yang sudah tenggelam dari peredaran sejarah, antara lain:
1. Hafshiyyah, pengikut Hafsh bin Abu Miqdam
2. Haritsiyyah, pengikut Harits al-Ibadhi
3. Yazidiyyah, pengikut Yazid bin Unaisah.
Seluruh pengikut Ibadhiyyah telah melepaskan diri dari pemikiran mereka. Bahkan menganggap mereka kafir, karena telah menyeleweng dan jauh dari garis Ibadhiyyah murni yang masih wujud sampai hari ini.
AKAR PEMIKIRAN DAN SIFAT IDEOLOGINYA
Orang-orang Ibadhiyyah berpegang kepada al-Qur'an dan al-Sunnah, ra'yu, terutama ijma', qiyas dan istidlal.
Pada umumnya mereka terpengaruh madzhab Zhahiri yang dalam memahami teks (nash) agama dilakukan secara tektual dan ditafsirkan secara lahiriah.
Selain itu mereka juga terpengaruhMu'tazilah seperti pendapat mereka bahwa al-Qur'an adalah makhluq.
PENYEBARAN DAN KAWASAN-KAWASAN PENGARUHNYA
Ibadhiyyah pernah bertahan di sebelah selatan jazirah Arabia sampai ke Makkah dan Madinah. Sedangkan di Afrika Utara mereka pernah memiliki sebuah negara yang disebut Negara Rustam dengan ibu kota Tahart.
Mereka telah mendirikan negara merdeka di sebelah utara Afrika selama 130 tahun. Kekuasaannya berakhir setelah dihancurkan penguasa Fathimiyyah.
Di Amman pernah berdiri pula sebuah negara Ibadiyyah merdeka. Kemudian kaum Ibadhiyyah di sana dipimpin oleh Imam-imam mereka sampai hari ini.
Jabal Nufusah, Libiya adalah salah satu kota Ibadhiyyah yang paling bersejarah. Sebab kota ini pernah dijadikan tempat pembuangan mereka. Dari sanalah mereka lalu menyebarkan madzhab Ibadiyyah dan mengatur kelompoknya.
Orang-orang Ibadhiyyah kini tersebar di Amman, Hadhramaut, Yaman, Tunisia, Aljazair dan daerah-daerah oasis Sahara Barat.