Tadi ada kawan beri saya satu istilah, iaitu Delusion of Grandiose. Terjemahannya mungkin Waham Besar Diri atau Waham Kebesaran. Kalau ikut petikan dari artikel di bawah ini ia bermaksud: "Delusion of grandiose; pasien mempercayai bahwa ia mempunyai pengetahuan yang lebih, bakat, insight, kekuatan, kepercayaan orang, atau mempunyai hubungan khusus dengan orang terkenal bahkan Tuhan".
Grandiose delusions
Grandiose delusions or delusions of grandeur are principally a subtype of delusional disorder but could possibly feature as a symptom of schizophrenia and manic episodes of bipolar disorder. Grandiose delusions are characterized by fantastical beliefs that one is famous, omnipotent, or otherwise very powerful. The delusions are generally fantastic, often with a supernatural, science-fictional, or religious bent (for example, belief that one is an incarnation of Jesus Christ).
Grandiose delusions are distinct from grandiosity, in that the sufferer does not have insight into his loss of touch with reality.
In colloquial usage, one who is said to have 'delusions of grandeur' is considered to be one who overestimates one's own abilities, talents or situation. This is generally due to excessive pride, rather than any actual delusions.
http://en.wikipedia.org/wiki/Grandiose_delusions
Gangguan Delusi
Gangguan delusi merupakan suatu kondisi dimana pikiran terdiri dari satu atau lebih delusi. ―Delusi diartikan sebagai ekspresi kepercayaan yang dimunculkan kedalam kehidupan nyata seperti merasa dirinya diracun oleh orang lain, dicintai, ditipu, merasa dirinya sakit atau disakiti. Gangguan delusi dapat terjadi pada siapa saja dengan beberapa kondisi tertentu, tanpa mestinya adanya gejala yang menunjukkan skizofrenia.
Secara awam orang yang berhadapan dengan pasien memiliki delusi akan terlihat nyata, hal ini disebabkan ekspresi wajah yang begitu menyakinkan sehingga orang akan mempercayai dengan apa yang diucapkan oleh individu dengan gangguan delusi tersebut. Pasien akan terlihat secara normal layaknya orang lain selama tema episode itu berlangsung. Disebut sebagai gangguan delusi bila kemunculan delusi tersebut bukan disebabkan oleh kondisi medis.
Tipe delusi
Ada beberapa macam tipe delusi diantaranya;
• Delusion of erotomanic; individu atau pasien mempercayai seseorang mempunyai kedudukan penting dan terlibat percintaan dengannya.
• Delusion of grandiose; pasien mempercayai bahwa ia mempunyai pengetahuan yang lebih, bakat, insight, kekuatan, kepercayaan orang, atau mempunyai hubungan khusus dengan orang terkenal bahkan Tuhan.
• Delusion of jealous; pasien mempercayai bahwa pasangannya berselingkuh atau tidak dapat dipercaya.
• Delusion of persecutory; pasien mempercayai bahwa dirinya ditipu, dimata-matai, diikuti, difitnah dan tidak mempercayai orang lain.
• Delusion of somatic; pasien mempercayai bahwa tubuhnya merasakan sensasi sesuatu atau merasakan salah satu dari bagian organ tubuhnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
• Tipe campuran; mempunyai delusi lebih dari satu tema
• Tipe tidak terdefinisi; bila tidak termasuk didalam kategori yang ada diatas; atau tipe lainnya yang berkaitan dengan budaya setempat
Beberapa tipe delusi lainnya dalam gangguan psikotik;
• Delusion of control; waham dimana individu beranggapan bahwa dirinya dikendalikan dari luar, atau orang lain
• Delusion of influence, pasien merasa dirinya dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan dari luar dirinya
• Delusion of passivity, dimana individu dalam ketidaberdayaan, merasa dirinya sebagai orang paling malang
• Delusion of perception, pengalaman indrawi yang berkenan dengan mistik atau mukjizat
• Tipe campuran; mempunyai delusi lebih dari satu tema atau tipe lainnya yang berkaitan dengan budaya setempat
Simtom
1) Munculnya delusi atau pikiran aneh-aneh yang merupakan refleksi pemikiran dari situasi tertentu yang kemudian muncul kedalam kehidupan nyata dengan waktu durasi minimal selama 1 bulan atau lebih.
2) Simtom berbeda dari skizofrenia bila individu belum pernah mengidap gangguan tersebut, kecuali diikuti dengan delusi pembauan secara konsisten bersamaan dengan tema yang ada.
3) Tidak adanya gangguan perilaku (atau bentuk perilaku yang ganjil) dan gangguan fungsi sosial
4) Gejala mood menyertai gejala delusi yang muncul berlangsung singkat selama episode delusi berlangsung
5) Ganguan delusi tidak disebabkan oleh penggunaan obat dan kondisi medis tertentu
Faktor penyebab
Banyak faktor kemunculan delusi, berkembangnya atau mood yang tidak stabil mempunyai pengaruh terhadap kepercayaan-kepercayaan delusi. Misalnya saja pada tipe persecutory dan cemburu akan memicu munculnya rasa marah dan perilaku kekerasan. Himpitan ekonomi, banyaknya stressor disekeliling individu dapat memicu munculnya delusi hingga individu tersebut menjadi penakut. Individu yang mencoba mengobati dirinya dengan sesuatu yang seharusnya tidak perlu merasakan adanya pengaruh terhadap tubunya merupakan salah satu gambaran tipe somatic
Treatment
Gangguan delusi jarang sekali dirasakan sebagai suatu problem bagi individu, sehingga mereka menolak dilakukan intervensi medis, kecuali gangguan tersebut bila dirasakan cukup mengganggu, kehilangan kontak sosial atau munculnya konflik interpersonal.
Assessment dan diagnosa harus dilakukan dengan hati-hati karena kemunculan delusi berhubungan erat dengan beberapa gangguan lainnya; skizofrenia, depresi, demensia, delirium, stress, gangguan kepribadian, penyalahgunaan obat-obatan, narkoba, sakit anggota tubuh, dsb.
Secara umum treatment diberikan berupa psikoterapi, jika dibutuhkan pengobatan medis biasanya akan diberikan obat antipsikotik seperti clozapine dan obat antidepresi seperti jenis SSRI dan clomipramine secara bersamaan dengan psikoterapi seperti cognitive-behavioral therapy (CBT).
Bagi beberapa pasien dengan gangguan delusi, metode supportif kadang cukup membantu, keberhasilan metode ini dengan memberikan dukungan kepada pasien untuk mengikuti treatment secara teratur berupa memberikan pengetahuan dan pendidikan mengenai hubungan sosial (social-skills training) dan mengurangi resiko dari dampak gangguan delusi seperti kehilangan rasa peka, isolasi diri, stress dan menghindari terjebaknya dalam perilaku kekerasan. Disamping itu pasien juga dibimbing dalam menghadapi dunia nyata, bagaimana menyesuaikan harapan dan pikirannya dengan realistic.
Terapi kognitif juga dapat membantu pasien, ini dilakukan terapis dengan membantu pasien mengidentifikasi pikiran-pikiran maladaptif dengan beberapa pertanyaan yang disesuaikan dengan pengalaman individu. Selanjutnya terapis memberikan alternative yang lebih adaptif dan dapat disesuaikan. Diskusi tentang pikiran-pikiran delusi pasien dilaporkan cukup memberikan kontribusi membaiknya pasien.
Untuk membantu pasien dengan gangguan delusi kadang dibutuhkan teman, anggota keluarga atau kelompok diskusi, dukungan dari mereka dapat membantu individu menumbuhkan kembali kepercayaan dan kemampuan dirinya seperti semula. Cara terbaik adalah memberikan dukungan pendekatan positif dengan pasien berupa kritikan dan nasehat secara terus menerus sehingga pasien akan mempunyai pengalaman dalam menghadapi stres sehingga tidak semakim memburuknya delusi tersebut.
Sumber: http://www.pikirdong.org/psikologi/psi53delu.php
Contoh Kes
Waham Kebesaran (sebuah renungan)
Oleh: Ustadz Funky, Mahasiswa Pascasarjana UNJ Prodi Teknologi Pendidikan
Pada bulan Maret 2008, saya mendapat undangan untuk presentasi dan mengisi pelatihan di Batu Malang. Perjalanan ditempuh melalui udara Jakarta – Surabaya, dan dilanjutkan dengan mobil jemputan, dengan menyisiri bendungan lumpur Lapindo Brantas. Perjalanan yang seharusnya singkat, menjadi lambat, menyusuri tanggul ini menjadi pilihan yang berat, karena jalanan yang sempit, dipenuhi dengan para penjual asongan dan pengamen.
Supir jemputan ini bercerita panjang lebar tentang kasus lumpur Lapindo, berdasarkan pengamatan, pemahaman, penalaran seorang supir. Ia menyatakan, seharusnya meluasnya area lumpur ini tidak perlu terjadi, jika Pemerintah dan pihak Lapindo Brantas mengambil langkah yang tepat. Dikarenakan lambatnya tindakan yang diambil, maka bencana ini menjadi meluas dan sulit untuk diatasi.
Supir ini bercerita dengan logat surabayanya yang kental, dengan semangat 45, dia memaparkan bagaimana sulitnya para penduduk sekitar, kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, harta benda dan harapan. Untuk mereka yang kuat, hal ini dapat dilewati dengan menebalkan kesabaran, namun tidak sedikit orang yang stress. Tidak sanggup menerima beban yang mereka emban, merasa jerih payah mereka seumur hidup, hilang begitu saja di depan mata. Menuntut penggantian, tidak kunjung selesai. Akhirnya, tidak sedikit dari mereka menjadi gila.
Perbincangan tentang gangguan kejiwaan ini menarik perhatian saya, karena seseorang dapat dikenali mengalami gangguan kejiwaan secara kasat mata. Salah persepsi tentang diri, menganggap orang lain dibawah kendalinya, seperti halnya postpower sindrom. Para orang tua yang telah lama bekerja, apalagi memiliki jabatan yang tinggi, dihormati orang dimana-mana, selalu dilayani. Maka, akan merasa kehilangan kendali diri apabila berhenti bekerja, ia merasa tidak berarti dan tidak dibutuhkan lagi, hal ini terjadi ia jika memiliki mental inferior. Kebalikannya, jika ia memiliki waham kebesaran, maka, ia akan tetap merasa diatas, tetap minta dihormati, tetap memberikan perintah. waham adalah keyakinan atau pikiran yg salah karena bertentangan dengan dunia nyata serta dibangun atas unsur yg tidak berdasarkan logika; sangka; curiga (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Uniknya, ada suatu cerita yang tersebar dikalangan masyarakat. Ada seorang tua mengalami gangguan jiwa, yang mungkin karena rasa kagumnya kepada pemilik Lapindo Brantas, atau mungkin juga karena rasa kesalnya. Merasa dirinya adalah pemilik pengeboran yang telah melakukan kekacauan ini. Gaya bicara sudah seperti boss, asal perintah, sebentar tertawa, kemudian bicara lantang seolah-olah sedang memimpin rapat, sebentar kemudian menangis.
Masyarakat merasa kasihan, akhirnya orang tua ini dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa. Pada awal masuk, seluruh staff dan dokter RSJ berkeyakinan, bahwa orang ini masih dapat disembuhkan, karena penyakit yang dideritanya disebabkan tekanan yang begitu berat, apabila dapat diberikan penyadaran, dan sedikit dikurangi beban hidupnya, mungkin akan sembuh.
Selama 3 bulan pertama, penyembuhan ini terasa begitu sia-sia, karena setiap dilakukan terapi, pasien mengatakan tidak mengalami masalah, karena ia mengaku dialah pemilik perusahaan ini, kenapa semua orang tidak percaya. Semua tingkah lakunya meniru orang kaya, walaupun tanpa HP, dia seakan-akan berkomunikasi dengan bawahannya, memberikan intruksi dan arahan, sebentar-bentar tersenyum menyatakan kepuasannya, disaat yang lain, marah.
Memasuki 6 bulan, tanda-tanda kesembuhan mulai tampak. Ia mau berkomunikasi, dia sadar bahwa dia bukanlah pemilik pertambangan. Sudah sadar, sudah tahu siapa dirinya, mengenal semua tamu yang datang menjenguknya.
Pada bulan ke 10, Dokter RSJ menyatakan bapak ini telah sembuh total, berdasarkan pengamatan dan pemantauan selama 3 bulan terakhir. Dikarenakan ini adalah kasus yang jarang terjadi, maka sebagian staff berinisiatif mengadakan syukuran, dengan mengundang seluruh dokter yang ada, dan para tamu yang dianggap membantu memberikan kesembuhan.
Diakhir acara, sebelum ditutup dengan doa, maka bapak ini diberikan kesempatan untuk menyampaikan testimoni, semacam ungkapan perasaan dan pernyataan untuk berterima kasih kepada yang lain.
Dengan sedikit sungkan, akhirnya bapak ini berbicara:
“Selama saya disini, dalam perawatan dan penyembuhan penyakit saya di Rumah Sakit ini, saya merasa terharu, sangat terharu. Karena tanpa bantuan Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, rasanya saya tidak mungkin seperti ini. Tak dapat dibayangkan, bagaimana jengkelnya Bapak dan Ibu sekali, ketika menghadapi ulah saya dahulu, mengaku pemilik pertambangan, bergaya seperti orang kaya, seperti orang yang memiliki pengaruh tak terbatas, perintah sana, perintah sini, jika tidak dituruti, akan marah. Untuk itu saya mengucapkan, mohon maaf yang sebesar-besarnya”
“Ucapan terima kasih saya kepada dokter-dokter yang telah setia menemani, atas pengorbanan dan pengabdian yang tak kenal lelah, berjuang demi kesembuhan saya, sehingga saya sadar sesadar-sadarnya, bahwa saya bukanlah pemilik perusahaan itu. Juga ucapan terima kasih saya kepada seluruh staf, karena telah menerima saya dengan baik, dan juga telah memperlakukan saya dengan baik.”
“Ada satu hal yang masih mengganjal dihati saya, sebelum saya tutup testimoni ini. Saya sudah sadar, bahwa saya bukanlah pemilik perusahaan, sehingga saya tidak perlu takut bertemu mereka, tidak perlu takut akan tuntutan-tuntutan mereka, tidak perlu cemas akan tatapan mata mereka, dan tidak perlu bertanggungjawab atas kesedihan mereka, tapi, apakah mereka juga sudah sadar, bahwa saya bukanlah pemilik perusahaan itu. Takutnya, mereka masih menyangka sayalah pemiliknya”
http://umum.kompasiana.com/2009/02/27/waham-kebesaran-sebuah-renungan/