Oleh zain-ys
Ihya' Ulumiddin (al-Ihya') sebuah nama besar. Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali juga sebuah nama besar. Orang besar menghasilkan karya besar iaitu al-Ihya'. Kedua-duanya, baik al-Imam al-Ghazali atau al-Ihya' sejak beliau menjadi bintang tidak pernah kering dari disebut orang hingga ke hari ini. Malah mungkin untuk hari-hari seterusnya. Kedua-duanya adalah bintang di persada sejarah sepanjang zaman.
Bermacam usaha untuk menutup-nutup keduanya sepanjang sejarah, namun kalau memang yang empunya diri ada kekuatan tersendiri usaha itu sia-sia sahaja. Al-Ghazali dan al-Ihya'-nya telah melalui pelbagai peringkat zaman dan setakat hari ini ibarat kata masih 'ditolak tak rebah'.
Baru-baru ini taukeh gedung kitab terbesar di Pulau Pinang menawarkan kitab al-Ihya' terjemahan Indonesia dengan harga yang saya tidak boleh menolaknya sama sekali. Ada 8 jilid. Saya ambil. Saya pernah bergelumang dengan al-Ihya' lama dahulu, sewaktu zaman remaja saya. Kini al-Ihya' berada semula ke pangkuan saya.
Maulana Mohd Asri ketika ditanya tentang status hadis di dalam al-Ihya', dijawabnya, al-Ihya' bukan kitab Hadis, jadi ia perlu di'layan' sebagai ia bukan kitab hadis. Ia tidak fokus kepada penelitian hadis. ia fokus kepada benda-benda lain. Orang yang mahu menelaahnya hendaklah bukan sebarangan orang. Hendaklah orang yang tahu selok-belok ilmu hadis.
Di bawah ini pula, saya petik kata-kata alu-aluan Dr HAMKA untuk terjemahan al-Ihya' Indonesia. Ia ditulis pada Desember 1963. Antara lain beliau berkata:
Dan yang lebih penting lagi, sebagai seorang ahli pikir yang bebas dan besar, beliau membebaskan pikirannya dari pengaruh penafsir-penafsir yang terdahulu daripadanya, tetapi hadits-hadits yang dijadikannya dalil, kerapkali tidak memperhatikan ilmu sanad hadits, sehingga sebagaimana ditulis oleh ayahku dan guruku Syaikh Abdulkarim Amrullah dalam bukunya Sullamul Ushul membaca Ihya' musti hati-hati, karena banyak haditsnya lemah.
Sambutan Al-Ustadz Al-Fadlil Dr. H.A. Malik Karim Amrullah (Dr.HAMKA)
SAMBUTAN TERJEMAHAN IHYA' ULUMIDDIN
Kitab Ihya' Ulumiddin, buah tangan Al-Imam Al-Ghazali adalah salah satu karya besar dari beliau dan salah satu karya besar dalam perpustakaan Islam. Meskipun ada berpuluh lagi karangan Ghazali yang lain, dalam berbagai bidang ilmu Pengetahuan Islam, namun yang menjadi inti-sari dari seluruh karangan-karangan beliau itu ialah Kitab Ihya' Ulumiddin.
Beliau pilih untuk menjadi judul nama bukunya Ihya' Ulumiddin, artinya ialah: MENGHIDUPKAN KEMBALI PENGETAHUAN AGAMA.
Sebabnya maka itu judul yang beliau pilih, ialah karena pada waktu itu ilmu-ilmu Islam sudah hampir teledor oleh ilmu yang lain, terutama oleh filsafat Yunani, khusus Filsafat Aristoteles telah disambut dengan amat asyiknya oleh ahli-ahli fikir Islam, yang dipelopori oleh Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain di Timur dan kemudian menjalar pula ke Barat (Andalusia dan Afrika Utara), sesudah Ghazali, yang dipelopori oleh Ibnu Rusyd.
Filsafat Yunani itu pada waktu itu dinamai 'Ulumul Awail, artinya Pengetahuan orang zaman purbakala.
Oleh sebab Islam sangat berlapang dada menerima segala macam ilmu pengetahuan ataupun hikmat, walau dari manapun datangnya, maka dalam abad-abad kedua dan ketiga hijriyah, terutama di zaman permulaan fajar Daulat Bani `Abbas, banyaklah pengetahuan lain bangsa disalin ke dalam bahasa Arab, guna memperkaya perpustakaan dan buah pikiran Arab Islam sendiri. Sebab kemajuan Islam dan Daulah Islamiyah dalam lapangan politik dan pengaruh kebudayaan, tidaklah akan dapat bertahan lama kalau pemikiran dari sarjana-sarjana tidak meluas dan mendalam.
Majulah Islam dalam lapangan fiqhi, ilmu kalam, tasawwuf dan filsafat. Tetapi kadang-kadang Ilmu Islam yang asli telah teledor oleh karena kemajuan dalam bidang yang tersebut di belakang ini, yakni filsafat. Al-Ghazali telah tampil ke muka mempersiapkan dirinya dengan ilmu-ilmu yang ada pada masa itu. Beliau memperdalam Ilmu -Kalam, beliau memperdalam fiqhi (Ilmu Hukum) dan perhatian beliau akhirnya amat tertarik kepada Filsafat sampai dipelajarinya pula amat mendalam. Hasil dan buah dari penyelidikannya terhadap Filsafat itu telah diungkapkannya dalam buku-bukunya "Al-Munqidzu minadl dlalal" (Pembangkit dari lembah kesesatan), "Maqashid al-Falasifah" (Tujuan dari pada para Failasoof) dan "Tahafut al-Falasifah" (Kekacau-balauan para Failasoof).
Beliau — setelah pengembaraan dalam alam pikiran yang mendalam itu— telah menyatakan kesimpulan bahwa filsafat itu, baik juga untuk melatih kita berfikir. Tetapi jadi amat berbahaya kalau sekiranya pikiran yang akan dipergunakan bagi berfilsafat tidak terlatih terlebih dahulu dengan tuntunan Wahyu Ilahi dan tuntunan Nabi. Ada orang mengatakan bahwa berfikir filsafat itu harus bebas, obyektif, jangan ada yang mempengaruhi terlebih dahulu. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa tidaklah ada seorang manusiapun yang dapat membebaskan dirinya dari pada pengaruh alam dikelilingnya. Apakah lagi — menurut Ghazali — Failasoof-Failasoof Yunani yang mempengaruhi berfikirnya Failasoof-Failasoof Muslim seumpama Al-Farabi dan Ibnu Sina, karena penerawangan berfikir bebas itu, telah sampai kepada kesimpulan bahwa Alam itu adalah qodim penaka Tuhan juga. Disini Filsafat sudah menjauh sendirinya dari pada pokok ajaran agama.
Lantaran itu maka Ghazalipun amat menyuruh hati-hati di dalam belajar 'Ilmul Kalam, IIlmu Theologi dalam Islam. Untuk orang awam —kata beliau— 'Ilmul Kalam itu lebih besar bahayanya daripada manfaatnya, sehingga beliau keluarkan sebuah risalah bernama "Iljamul 'Awam" (Mengekang orang awam) dari pada membicarakan Ilmu Kalam. Iman kepada Allah— menurut Ghazali- tidaklah dapat dengan dipelajari secara "akal semata", melainkan hendaklah karena dirasakan, demi setelah meleburkan diri kedalam persada Alam yang ada dikeliling kita.
Setelah nyata bahwa dengan filsafat bukan, dengan 'Ilmul Kalam bukan, dengan debat-berdebat (jidal) Ilmu Fiqhi-pun bukan, manakah jalan yang dapat mencapai kepada Tuhan itu?
Ghazali akhirnya berpendapat bahwa mendekati Tuhan, merasa adanya Tuhan dan ma'rifat kepada Tuhan, hanya dapat dicapai dengan menempuh satu jalan, yaitu jalan yang ditempuh oleh kaum Shufi.
Ghazalipun insyaf bahwasanya di zamannya pertentangan kaum syari'ah amat besar dengan kaum Shufi atau kaum Hakikat. Kaum Fuqaha menghabiskan waktunya di dalam membincangkan syah dan bathal, dengan mengabaikan perhatian kepada kehalusan perasaan, sedang kaum Shufi saling terlalu memupuk perasaan (dzauq) kadang-kadang tidak memperdulikan mana amalan, ibadat dan syari'at yang sesuai dengan Sunnah Rasul dan mana yang tidak.
Tasawwuf perlu untuk memupuk perasaan halus manusia, atau `athifah. Tetapi kadang-kadang terlanjur keluar dari garis syari'at. Syari'at perlu untuk mengatur kehidupan sehari-hari menurut jalan Rasul, tetapi kadang-kadang menjadi kaku dan kehilangan intisari karena hanya tunduk kepada yang tertulis belaka sehingga kebebasan manusia buat berfikir, buat merasa dan buat berfantasi menjadi hilang.
Syari'at tanpa hakikat, menjadi bangkai tak bernyawa. Hakikat tanpa syari'at menjadi nyawa tak bertubuh.
Ghazali berusaha mempersatu-padukan keduanya. Dengan dasar itulah beliau ingin menghidupkan kembali Ilmu Agama: IHYA' 'ULUMIDDIN.
Dengan bersumber kepada Al-Quran, dengan kembali kepada Sunnah Rasul yang asli, kita bongkar dan kita gali ilmu yang sejati. Di dalamnya terkandunglah hikmat-hikmat yang tinggi, yang kadang-kadang mungkin dapat dinamai filsafat, kadang-kadang dapat dinamai Ilmul Kalam, Fiqhi dan lain-lain, apatah lagi buat mengetahui rahasia yang terkandung dalam hati (Asroril-Qulub).
Apabila ilmu telah dihidupkan kembali, syari'at mesti bertemu dengan hakikat, amal saleh mesti dinyawai oleh Iman dan di samping riadlah jasmani (latihan badan) kita adalah riadlah annafs atau riadlah qalb (latihan jiwa atau latihan hati). Disitulah kita mendapat "Haqiqat al Hajah (hidup yang sejati).
Sejak daripada ibadat, sembahyang, puasa, zakat dan hajji, sampai kepada mu'amalat (pergaulan hidup manusia sehari-hari), sampai kepada munakahat (pembangunan rumah tangga), sampai kepada hukum-hukum pidana, semuanya beliau cari isi dan umbinya,inti atau sarinya dalam alam hakikat dan hikmat, sehingga hidup kita sebagai muslim berarti lahir dan bathin.
Maka kitab "IHYA' 'ULUMIDDIN" adalah hasil karya positif sesudah beliau ragu (syak, sceptis) terhadap segala persoalan dalam bidang kepercayaan dan akhirnya keraguan itu sedikit demi sedikit mulai hilang, berganti dengan yakin. Dan itulah yang beliau hidangkan ke dalam masyarakat muslim.
Sebagai seorang ahli fiqih Islam yang besar, karangan beliau ini mendapat sambutan hangat. Mendapat sanjung puji yang tinggi dan juga mendapat sanggahan yang hebat.
Di zaman pemerintahan Sultan Yusuf bin Tasyfin di negeri Maghribi di Fas (Fez) kaum Fuqaha sangat murka kepada Ghazali, sebab karangannya Ihya' 'Ulumiddin banyak mengeritik kaum ahli fiqhi, yang sudah menjauh daripada Al-Qur'an dan hanya tenggelam ke dalam taqlid. Fuqaha marah, sehingga mengusulkan kepada Sulthan supaya Ihya' dibakar saja dan dilarang keras peredarannya ke Maghribi. Di kala disampaikan orang berita itu kepada Ghazali serta-merta beliau berkata: "Tuhan akan merobek kerajaan mereka sebagaimana mereka telah merobek kitabku".
Tiba-tiba muncullah dalam majlis itu, murid beliau Muhammad bin Taumrut, yang bergelar Al-Mahdi, lalu berkata : "Wahai Imam! Doakanlah kepada Tuhan bahwa keruntuhan kerajaan Bani Tasyfin akan terjadi di tangan saya".
Kemudian memang jatuhlah kerajaan Murabithin, digantikan oleh murid Imam Ghazali yang bernama Muhammad bin Taumrut itu, dengan nama Kerajaan Muwahhidin. Bila Imam Ghazali mengetahui bahwa muridnyalah yang menjadi raja, dan kitab beliau telah diakui kembali di negeri itu, beliau berniat hendak hijrah ke Maghribi. Sayang sekali sebelum beliau berangkat, beliau meninggal dunia tahun 505 H. dalam usia 55 tahun.
"Ihya' 'Ulumiddin" adalah salah satu karya besar, yang diakui besar fikiran yang terkandung di dalamnya. Ds. Zwemmer, tokoh sending Kristen yang terkenal, berpendapat bahwa sesudah Nabi Muhammad saw. adalah dua Pribadi yang amat besar jasanya menegakkan Islam, pertama Imam Bukhari karena pengumpulan Haditsnya, kedua Imam Ghazali karena "Ihya'-nya".
Segala sesuatu apabila telah tercapai kesempurnaannya, nampaklah di mana kekurangannya. "Tanda gading yang tulen, ialah retaknya". Alam ini sendiri menjadi amat sempurna, karena serba kekurangannya. Tuhan mencipta 'Alam dalam kesempurnaannya, karena ada kekurangannya. Kalau tidak ada yang cacat niscaya Allah Ta'ala tidak kaya karena tidak menjadikan sesuatu yang bernama cacat.
Demikian juga kitab-kitab karangan Ghazali terutama Ihya' 'Ulumiddin ini. Kadang-kadang beliau, lantaran asyiknya memperingatkan kesucian hidup, telah jatuh kepada bersangatan mencela dunia. Orang yang terpengaruh oleh ajaran Ghazali tentang cacat dunia, maulah rasanya mengutuk sama sekali dunia itu. Mengutuk dunia bisa menyebabkan dunia itu lepas dari tangan kita, hingga dipungut oleh orang lain, sehingga negara-negara Islam terjajah.
Kadang-kadang beliau menganjurkan hidup membujang, tak usah beristeri. Supaya beban hidup dalam munajat kepada Tuhan menjadi ringan, padahal ajaran asli Islam tidak mengajarkan demikian.
Dan yang lebih penting lagi, sebagai seorang ahli pikir yang bebas dan besar, beliau membebaskan pikirannya dari pengaruh penafsir-penafsir yang terdahulu daripadanya, tetapi hadits-hadits yang dijadikannya dalil, kerapkali tidak memperhatikan ilmu sanad hadits, sehingga sebagaimana ditulis oleh ayahku dan guruku Syaikh Abdulkarim Amrullah dalam bukunya Sullamul Ushul membaca Ihya' musti hati-hati, karena banyak haditsnya lemah.
Itulah menjadi bukti bahwasanya seorang sarjana atau seorang failasoof yang besar tidaklah melengkapi ilmunya dalam segala -bidang. Ghazali lemah dalam ilmu hadits, tetapi dia besar dalam penciptaan fikiran. Sebagaimana juga Ulama-Ulama Ahli Hadits, kebanyakannya tidak sanggup buat menciptakan fiqhi atau mengeluarkan faham bebas, sebab amat terikat oleh hadits-hadits, sehingga fikirannya menjadi buntu karena kekuatan hafalan.
Perhatikan kepada ajaran Filsafat Ethika (Akhlaq) Al-Ghazali sampai saat-saat sekarang ini masih menjadi bahan yang kaya untuk direnungkan. Setengah ahli selidik dan orientalist Barat berpendapat bahwa keragu-raguan Descartes adalah pengaruh keragu-raguan Ghazali. Ragu (skeptis, syak) adalah tangga utama menuju yakin. Pada tahun 1924 Zaki Mubarak di Mesir mencapai gelar Doktornya karena kritiknya yang bernama "Akhlaq menurut Ghazali" yang sebagai seorang sarjana yang masih muda dia menghantam ajaran Ghazali sebagai suatu ajaran yang menyebabkan jiwa melempem. Tetapi setelah dia berusia lebih 40 tahun dikeluarkannya pula promosinya untuk gelar doktor yang ketiga-kalinya bernama "Tasawwuf Islam", yang kalau dibaca, ternyata bahwa pukulannya kepada Ghazali khasnya dan Tasawwuf 'amnya, tidak sekeras dahulu lagi. Di tahun 1947 Dr. Sulaiman Dunia Maha Guru Filsafat dan 'ilmu Kalam di Al-Azhar University mengeluarkan lagi studynya "Hakikat menurut pandangan Ghazali ". Ditahun terakhir sampai tahun 1963 masih tetap ada sarjana Islam yang meninjaunya kembali.
Kupasan Ghazali tidak akan habis-habisnya menjadi bahan study tentang tasawwuf, tentang aqidah, tentang filsafat dan ethika (akhlaq).
Demikian itulah selayang pandang saya tentang IHYA' 'ULUMIDDIN oleh "Hujjatul Islam" Al-Ghazali.
Di dalam perkembangan ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam di Indonesia, tasawwuf Imam Ghazali dengan Ihya'-nya besar sekali peranannya. Madzhab Sunni yang masuk kemari sejak zaman kerajaan Islam Pasai ialah Madzhab Syafi i. Imam Ghazali adalah seorang Ulama Muta-akhkhirin dalam madzhab itu.
Tasawwuf "Wihdatul Wujud" (Pantheisme) Al-Hallaj yang mulanya amat berpengaruh di sini menjadi terdesak karena datangnya ajaran Ghazali. Kitab Ihya' `Ulumiddin menjadi pegangan ulama-ulama di tanah air kita. Syaikh Abdus Samad Al-Falimbani diujung abad kedelapan belas telah mengambil inti-sari kitab Ihya` dan menyalinnya ke dalam bahasa Indonesia (Melayu Lama) dengan nama "Sairus-Salikin". Demikian juga terdapat dalam karangan-karangan Ulama-ulama Aceh. Kitab Ihya` pun telah disarikan oleh Ulama-ulama di Jawa ke bahasa Jawa huruf Pegon. Dizaman modern ini, saya sendiri amat banyak mengambil buah renungan Ghazali untuk buku saya "Tasawwuf Modern". Tetapi belum ada usaha selama ini menyalin kitab yang besar 4 jilid itu ke dalam bahasa Indonesia modern.
Tiba-tiba pada bulan Rajab 1383 Hijriyah, bertepatan dengan hari-hari peringatan Isro' dan Mi'roj Nabi Muhammad saw. seorang Ulama Muda dari Aceh, yang telah lama saya kenal, yaitu Tengku Haji Ismail Yakub MA-SH, telah datang kerumah saya memperlihatkan salinan (terjemahan) Kitab Ihya' Ulumiddin ke dalam bahasa Indonesia yang beliau kerjakan sendiri dan meminta saya supaya sudi memberikan kata sambutan atas usahanya yang amat berharga itu.
Tidak pelak lagi kalau saya bergembira menyambut usaha beliau itu. Perhatian kepada Islam dan inti ajarannya di zaman sekarang telah mulai besar di tanahair kita ini. Banyak kaum terpelajar secara Barat mulai memperhatikan Islam. Banyak mereka mendengar nama kitab Ihya' atau membaca adanya kitab itu dari kalangan Orientalist Barat, sayang mereka tidak mengetahui bahasa Arab. Terjemahan Ustadz Tengku H. Ismail Yakub ini sudah dapat memuaskan dahaga mereka.
Banyak telah berdiri Perguruan Tinggi Islam. Sayangnya mahasiswa kebanyakan lemah bahasa Arabnya. Dengan salinannya Ihya' mereka sudah dapat membandingkan fikiran ciptaan Failasoof Islam ini dengan aliran-aliran filsafat yang lain. Baik Filsafat Yunani atau Filsafat Scholastik Kristen atau Filsafat Modern.
Mubaligh-mubaligh pun mendapat banyak bahan untuk study. Dan lebih dari itu semuanya dengan membaca salinan Ihya' ini, dengan sendirinya moga-moga isinya yang bernas dapat mempengaruhi jiwa kita, sehingga kita dapat menjadi seorang Muslim yang tha'at dan cinta kepada Allah dan Rasul Allah.
Dalam pembangunan bangsa kita sekarang ini, yang kita sebagai Muslim amat ingin agar Islam menjadi unsur mutlak dalam pefnbangunan itu, maka terjemahan Ihya' Ulumiddin ke dalam bahasa Indonsia oleh Ustadz Tk. H. Ismail Yakub MA-SH., adalah satu karya yang amat saya pujikan.
Moga-moga Tuhan Allah memberi taufiq kita bersama dalam menuju ridlaNya.
Dr. H.A. Malik KarimAmrullah
Kebayoran Baru, Jakarta: Rajab 1383.
Desember 1963.